Bagaimana Yesus Adalah Kebenaran
Yesus berkata kepadanya, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
“Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:32)
Yesus adalah Kebenaran
Yesus Kristus bukan sekadar sosok yang mengajarkan tentang kebenaran atau mewujudkan kebenaran dalam ajarannya, melainkan diri-Nya sendiri adalah perwujudan Kebenaran. Konsep ini dapat dipahami dalam beberapa cara:
1. Kebenaran sebagai Atribut Ilahi: Dalam teologi Kristen, Yesus Kristus dianggap sebagai Putra Allah dan bagian dari Tritunggal Mahakudus (Bapa, Putra, dan Roh Kudus). Tuhan sering digambarkan sebagai sumber segala kebenaran, dan Yesus, sebagai Anak Tuhan, dipandang memiliki hubungan yang unik dan intim dengan kebenaran ilahi. Jadi, dalam pemahaman ini, Yesus mewujudkan kebenaran karena Dia ilahi.
2. Kebenaran dalam Ajaran-Nya: Ajaran Yesus Kristus sering kali berpusat pada kebenaran rohani dan moral. Ia diyakini telah mengungkapkan kebenaran penting tentang Tuhan, keselamatan, dan sifat kemanusiaan. Ajarannya dianggap berwibawa, dan dalam mengikuti ajarannya, umat Kristiani berusaha untuk hidup sesuai dengan kebenaran tersebut.
3. Kebenaran dalam Identitas-Nya: Umat Kristiani percaya bahwa Yesus Kristus bukan sekedar guru manusia namun sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia. Sifat ganda ini sangat penting bagi konsep bahwa “Kebenaran adalah suatu pribadi”. Di dalam Yesus, kebenaran ilahi dan realitas kemanusiaan bersatu secara unik.
4. Kebenaran dalam Peran-Nya sebagai Juruselamat: Bagi banyak orang Kristen, Yesus bukan hanya perwujudan kebenaran tetapi juga penyelamat umat manusia. Kehidupan, kematian, dan kebangkitanNya dipandang sebagai wahyu tertinggi dari kebenaran dan kasih Tuhan, yang memberikan jalan bagi manusia untuk berdamai dengan Tuhan.
Kebenaran berakar pada Tuhan yang kekal, Yang Mahakuasa dan tidak dapat diubah. Yesus berdoa, “Kuduskan mereka dengan kebenaran; Firman-Mu adalah Kebenaran” (Yohanes 17:17).
Kebenaran jauh lebih dari sekedar fakta. Ini bukan hanya sesuatu yang kita tindak lanjuti. Itu mempengaruhi kita. Kita tidak bisa mengubah kebenaran, tapi kebenaran bisa mengubah kita. Hal ini menyucikan (membedakan kita) dari kepalsuan yang tertanam dalam sifat dosa kita.
Sebagaimana Kristus adalah Firman yang hidup adalah kebenaran, maka perkataan-Nya yang tertulis adalah kebenaran. Meskipun langit dan bumi akan berlalu, kebenaran Tuhan tidak akan pernah terjadi.
Lebih dari separuh penggunaan kata “kebenaran” (aletheia) dalam Perjanjian Baru terdapat dalam Injil Yohanes. Kebenaran adalah kenyataan. Begitulah keadaan sebenarnya. Apa yang tampak dan apa yang sebenarnya sering kali tidak sama. Saat saya mengembangkan novel saya Deception, “Segala sesuatunya tidak seperti yang terlihat.” Mengetahui kebenaran berarti melihat secara akurat. Memercayai apa yang tidak benar berarti menjadi buta.
Tuhan telah menuliskan kebenaran-Nya di dalam hati manusia, di dalam hati nurani (Roma 2:15). Rasa malu dan hati nurani yang berdebar-debar muncul karena menyadari bahwa kebenaran telah dilanggar. Ketika dunia mendengar kebenaran, jika disampaikan dengan ramah, banyak orang yang tertarik pada kebenaran tersebut karena kekosongan moral yang mereka rasakan. Hati merindukan kebenaran — meski ada hati yang menolaknya.
Sebagai pengikut Kristus, kita harus berjalan dalam kebenaran (3 Yohanes 1:3), mengasihi kebenaran, dan percaya akan kebenaran (2 Tesalonika 2:10-12). Kita harus mengatakan kebenaran “dengan kasih” (Efesus 4:32).
Kebenaran lebih dari sekadar panduan moral. Yesus menyatakan, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup; tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).
Diambil dari “How is truth defined?” oleh Randy Alcorn, Eternal Perspective Ministries, 39085 Pioneer Blvd., Suite 206, Sandy, OR 97055, 503-668-5200, www.epm.org
Sumber : Randy Alcorn – Eternal Perspective Ministries – https://www.christianity.com/