ChurchTeologiTeologia Keselamatan

7 Cara Membuka Kuasa Anugerah yang Menyelamatkan

Sola gratia. Hanya karena anugerah.

Berabad-abad yang lalu, Martin Luther dan Reformasi membahas isu-isu di dalam gereja Katolik, mencoba memusatkan umat beriman pada Kristus, alih-alih pada sebuah institusi. Di antara doktrin-doktrin yang mereka anut, mereka mengajarkan bahwa orang Kristen diselamatkan hanya oleh anugerah. Para reformator merujuk pada ayat berikut, antara lain:

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” – Efesus 2:8-9

Orang sering kali mencampuradukkan belas kasihan dan anugerah. Keduanya mencakup kebaikan yang tidak layak diterima. Namun, belas kasihan adalah kebaikan Allah yang tidak memberi kita hukuman yang seharusnya kita terima. Anugerah adalah kebaikan Allah yang memberi kita kuasa untuk hidup bersama-Nya. Keduanya adalah pemberian, keduanya tidak layak diterima manusia.

Kalimat berikutnya dalam Efesus, ayat 2:10, menjelaskan lebih lanjut hal ini: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya supaya kita hidup di dalamnya.” Bukan perbuatan kita yang menyelamatkan kita. Perbuatan Allah yang menyelamatkan. Anugerah kasih karunia menghasilkan perbuatan baik yang kita lakukan atas prakarsa Allah. Untuk berjalan bersama-Nya, kita membutuhkan belas kasihan (pengampunan dosa, penghapusan hukuman) dan kasih karunia (kuasa untuk melakukan pekerjaan yang telah Allah persiapkan bagi kita).

Bagaimana kita mengakses kasih karunia ini? Berikut adalah 7 cara untuk membuka kuasa kasih karunia yang menyelamatkan.

1. Mengenali Kebutuhan Kita akan Anugerah Transformatif Allah

Allah adalah kebenaran, dan kita menyelaraskan diri kita dengan Bapa kita dengan menyetujui kebutuhan mutlak kita akan Dia. Pengakuan akan ketidakcukupan dan ketergantungan kita kepada Allah ini membuka pintu bagi karya transformatif-Nya di dalam diri kita. Yesus sendiri menekankan pentingnya mengakui kebutuhan kita akan keselamatan. Dalam Yohanes 15:5, Kristus menyatakan,

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

Tidak ada yang berada di antara keduanya. Kita menghasilkan buah dengan Allah sebagai sumbernya, atau kita tidak mencapai apa pun.

Ketika kita mengakui kebutuhan kita akan anugrah keselamatan Allah, kita merendahkan diri di hadapan-Nya, menyadari bahwa kita tidak dapat menyelamatkan diri sendiri melalui usaha atau jasa kita sendiri. Kerendahan hati ini menyelaraskan kita dengan kebenaran akan kondisi kita sebagai makhluk jatuh yang membutuhkan penebusan. Dalam Lukas 18:13, Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai, yang menggambarkan kuasa dari mengakui kebutuhan kita akan belas kasihan. Pemungut cukai itu, yang menyadari dosanya, berseru, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Yesus mengakhiri perumpamaan itu, “Aku berkata kepadamu, bahwa orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan di hadapan Allah, dan bukan orang itu. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Dengan mengakui kebutuhan kita akan kasih karunia Allah yang menyelamatkan, kita memposisikan diri untuk menerimanya sepenuhnya dan mengalami kuasa kasih dan belas kasihan-Nya yang mengubah hidup kita.

2. Membuka Kasih Karunia dan Pemulihan Allah melalui Pertobatan dan Pengakuan Dosa

Pertobatan dan pengakuan dosa memainkan peran penting dalam membuka kasih karunia Allah dalam hidup kita. Melalui pertobatan, kita berpaling dari dosa dan menuju kepada mengikuti Allah serta berjalan di jalan-Nya. Dan dengan pengakuan dosa, kita mengakui dosa-dosa kita di hadapan Allah dan memohon pengampunan serta penyucian-Nya. Tindakan-tindakan ini membuka jalan bagi rekonsiliasi dengan Allah dan pemulihan hubungan kita dengan-Nya.

Pengakuan dosa selaras dengan kebenaran bahwa kita telah berdosa dan pantas menerima murka Allah. Dalam 1 Yohanes 1:9, rasul Yohanes menulis, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Allah menanggapi pengakuan kita yang rendah hati dengan pengampunan dan penyucian. Alkitab menyoroti pertobatan untuk menerima pengampunan Allah. Dalam Kisah Para Rasul 3:19, Petrus berkhotbah,

“Karena itu sadarlah dan berbaliklah kepada Allah, supaya dosamu dihapuskan, agar Tuhan mendatangkan waktu kelegaan.”

Pertobatan menjadi transformatif, di mana Allah mengampuni dan mengubah kita. Ia mewariskan kasih karunia-Nya kepada kita, memampukan kita untuk mengikuti dan menaati-Nya. Bersama-sama, pertobatan dan pengakuan dosa menciptakan jalan untuk mengalami kepenuhan kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Keduanya menunjukkan kesediaan kita untuk mengakui kebutuhan kita akan pengampunan Allah, komitmen kita untuk menjauhi dosa, dan kerinduan kita akan pemulihan hubungan kita dengan-Nya.

3. Iman kepada Yesus Membuka Anugerah Allah yang Menyelamatkan

Ketika kita bertobat, kita menaruh iman dan kepercayaan kita kepada pribadi Yesus. Efesus 2:8-9 mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia “melalui iman.” Iman, yang juga merupakan anugerah, menyediakan jalan keselamatan yang melaluinya kasih karunia bekerja. Iman dan kepercayaan kepada Yesus ini membuka kuasa kasih karunia Allah yang menyelamatkan dalam hidup kita. Iman melibatkan menempatkan kepercayaan dan keyakinan kita kepada Yesus Kristus, percaya pada kematian dan kebangkitan-Nya yang penuh pengorbanan untuk pengampunan dosa-dosa kita. Dalam Yohanes 3:16, Yesus sendiri menyatakan,

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Hanya dengan percaya kepada Yesus, Anak Allah, kita dapat mengalami keselamatan dari kematian rohani menuju hidup yang kekal. Mempercayai Kristus melibatkan penyerahan hidup kita kepada ketuhanan-Nya dan bersandar pada kekuatan serta bimbingan-Nya dalam segala aspek kehidupan kita. Amsal 3:5-6 mengajarkan,

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Ayat ini menekankan pentingnya bersandar sepenuhnya kepada Tuhan dan berserah pada kehendak-Nya, dengan menyadari bahwa Dia mengarahkan jalan kita dan menuntun kita di jalan kebenaran.

4. Kuasa Puasa dalam Memperdalam Ketergantungan Kita kepada Tuhan

Disiplin tertentu membantu kita mengingat ketergantungan kita sepenuhnya pada kasih karunia dan pemeliharaan Tuhan. Di seluruh Alkitab dan dalam kisah para tokoh besar Tuhan, puasa telah terbukti sebagai disiplin yang berharga untuk merendahkan hati kita kepada Tuhan. Dalam Matius 6:16-18, Yesus mengajarkan tentang pentingnya puasa, dengan mengatakan,

“Ketika kamu berpuasa, janganlah bermuka muram seperti orang munafik, karena mereka mengubah muka mereka untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka sedang berpuasa. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, mereka telah menerima upah mereka sepenuhnya. Tetapi ketika kamu berpuasa, oleskanlah minyak ke kepalamu dan basuhlah mukamu, supaya tidak terlihat oleh orang lain bahwa kamu sedang berpuasa, melainkan hanya kepada Bapamu, yang tidak terlihat; dan Bapamu, yang melihat apa yang dilakukan secara tersembunyi, akan memberimu upah.”

Berpuasa bagi Tuhan, bukan untuk ketenaran atau perhatian, akan menghasilkan upah yang tak terlihat dan terbuka. Berpuasa berarti berpantang makanan atau aktivitas tertentu selama periode tertentu untuk berfokus pada doa, refleksi rohani, dan mencari hadirat Tuhan. Puasa merupakan cara untuk menyangkal keinginan daging dan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam kepasrahan dan kerendahan hati. Selain itu, melalui puasa, kita menyatakan bahwa hanya Allah yang menopang dan memberi kita kekuatan (Matius 4:4).

Kita juga dapat meluangkan waktu berpuasa untuk berfokus pada hal yang penting bagi Tuhan: mengasihi sesama. Yesaya 58:6-7 menggambarkan jenis puasa yang diinginkan Tuhan -melepaskan belenggu ketidakadilan, membebaskan yang tertindas, dan berbagi sumber daya dengan orang miskin dan orang asing.

5. Membuka Rahmat melalui Doa dan Renungan Harian

Bersamaan dengan puasa, doa, dan meditasi adalah disiplin yang berkelanjutan dan setiap hari untuk membantu kita membuka kuasa kasih karunia. Dalam Alkitab, keduanya digambarkan sebagai komponen penting dari pertumbuhan rohani, persekutuan dengan Tuhan, dan mencari kehendak-Nya. Yesus sekarang berdiri sebagai Imam Besar di ruang takhta Allah di surga, bersyafaat bagi kita, dan sebagai pengikut-Nya, kita bergabung dengan-Nya di sana. Filipi 4:6-7 menggarisbawahi pentingnya doa, dengan menyatakan,

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Melalui doa, kita menerima damai sejahtera Allah yang kekal dan tak tergoyahkan. Meditasi Alkitabiah melibatkan perenungan yang mendalam tentang firman dan karakter Allah. Mazmur 1:2-3 menggambarkan kebahagiaan orang yang merenungkan hukum Allah siang dan malam, dengan mengatakan, “Tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat-Nya siang dan malam, ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” Dengan meluangkan waktu untuk berdiam diri dan membiarkan Tuhan membimbing pikiran kita tentang karakter-Nya, kita memperdalam hubungan kita dengan-Nya dan belajar mendengar suara-Nya dengan lebih baik.

6. Menyalurkan Kasih Karunia Allah melalui Pelayanan dan Pengorbanan

Allah tidak memberkati kita untuk diri kita sendiri. Dia ingin kita menjadi saluran kasih, harapan, dan kasih karunia-Nya. Pada dasarnya, setelah pertobatan, Allah kini hidup melalui kita melalui Roh Kudus. Untuk mengalami lebih banyak kasih karunia bagi diri kita sendiri, kita perlu menyalurkan kasih karunia kepada orang lain melalui pelayanan dan pengorbanan diri. Yesus mengajarkan pentingnya menunjukkan kasih karunia dan melayani orang lain sebagai ungkapan kasih dan ketaatan pada perintah-perintah Allah. Dalam Matius 25:35-36, Yesus berkata :

“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu mengundang Aku masuk; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”

Kasih karunia adalah pemberdayaan Allah; sebagai anak-anak-Nya, kita hendaknya memberdayakan mereka yang membutuhkan. Yesus menganggapnya seolah-olah dilakukan untuk-Nya secara pribadi. Mengulurkan kasih karunia berarti menunjukkan kebaikan, belas kasihan, dan pengampunan kepada orang lain, bahkan ketika mereka mungkin tidak pantas menerimanya. Efesus 4:32 menasihati orang percaya untuk “Hendaklah kamu ramah dan penuh belas kasihan satu sama lain, dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Melayani sesama berarti memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan rohani mereka, mengikuti teladan Yesus, yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Matius 20:28). Melalui tindakan pelayanan, kita menunjukkan kasih Allah secara nyata, mencerminkan karakter-Nya dan memajukan kerajaan-Nya di bumi.

7. Mempelajari Kitab Suci Memperdalam Pemahaman Kita tentang Kasih Karunia Allah

Praktik dasar lainnya termasuk mempelajari Kitab Suci, mengingatkan kita melalui sejarah, nubuat, dan pengajaran. Alkitab berfungsi sebagai sumber wahyu yang berotoritas tentang karakter Allah, rencana penebusan-Nya, dan kehendak-Nya bagi umat manusia. 2 Timotius 3:16-17 menyatakan,

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap orang kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Melalui Alkitab, kita terlibat dengan sesuatu yang hidup dan aktif: firman Allah dalam bentuk tertulis. Tidak ada kitab lain yang memiliki kuasa ini. Mempelajari Kitab Suci memperdalam pemahaman kita tentang kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan implikasinya bagi hidup kita. Roma 10:17 menegaskan,

“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Membaca atau mendengarkan pesan Kristus dari Alkitab memelihara iman kita. Selain itu, mempelajari Alkitab mendorong transformasi saat kita mempelajari kebenarannya, menerapkan prinsip-prinsipnya, dan membiarkannya membentuk keyakinan dan perilaku kita. Yakobus 1:22 mendorong orang percaya untuk menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar, menekankan kuasa Alkitab yang transformatif dalam membentuk karakter dan perilaku kita. Untuk kehidupan seperti itu, kita membutuhkan kasih karunia.

Sumber : Britt Mooney – https://www.christianity.com

Daftar Artikel Tentang Keselamatan Manusia :

Artikel dan Tulisan Utama Teologia :