4 Kekuatan yang Dianggap Anak Sebagai Kelemahan
Putra bungsu saya suka bergulat. Dia akan melakukannya berjam-jam jika saya bisa mengikutinya. Biasanya dimulai dengan dia menyelinap dan menjebloskan saya ke tempat tidur atau sofa. Di sana, dia akan mencoba memiting saya. Saya biasanya membalas dengan pelukan beruang. Begitu dia berhasil melepaskan diri, dia mencoba menjepitku lagi, dan kekacauan terus berlanjut. Meskipun dia belum bisa memiting saya (hari itu akan tiba), suara tawanya adalah bagian terbaiknya.
Ada banyak hal yang bisa dikatakan tentang waktu yang dihabiskan para ayah untuk bergulat dengan putranya. Ini adalah waktu berkualitas dan kesempatan bagi putra-putra kita untuk mengukur kekuatan mereka dibandingkan kekuatan kita. Saat dia semakin kuat, saya ingin dia memahami kekuatannya sendiri sebagai karunia untuk dihormati dan dihargai. Namun saat saya membesarkan seorang putra yang kuat, saya juga ingin dia mengetahui bahwa ada beberapa kekuatan yang mungkin tampak lemah baginya pada pandangan pertama. Berikut adalah 4 kekuatan yang mungkin dianggap kelemahan oleh anak-anak kita.
1. Meminta Bantuan

Meskipun ada stereotip yang bertentangan, anak-anak yang kita besarkan harus tahu bahwa tidak perlu ada rasa malu untuk meminta bantuan. Pria terkuat seringkali juga paling rendah hati karena mereka melihat batasan mereka sendiri dan tahu pada siapa mereka dapat bersandar. Dalam proses membesarkan keluarga, kebanyakan pria menemukan banyak tempat yang bisa kita kunjungi saat kita membutuhkan bantuan. Anak laki-laki kita akan melihat ini sebagai sebuah aset ketika mereka melihat kita membawa mobil ke bengkel atau pergi ke dokter untuk masalah yang diluar kemampuan kita.
2. Menjadi Rentan
Banyak pria menjalani hidup dengan rasa takut untuk mengungkapkan emosi dan ketakutan mereka. Hal ini dapat membuat mereka merasa terisolasi dan kewalahan dalam keadaan sulit. Pria yang sehat menemukan orang-orang yang rentan terhadap mereka dan dengan melakukan hal tersebut mereka belajar bahwa mereka tidak perlu memikul beban emosional sendirian. Membesarkan anak laki-laki yang memahami pentingnya menjadi rentan membuka mereka untuk menjalin persahabatan yang mendalam dan hubungan yang lebih intim sepanjang hidup mereka.
3. Meminta Maaf (dan Memaafkan)

Putra-putra kita perlu belajar untuk tidak takut mengatakan “Saya minta maaf.” Ada kekuatan besar dalam kesediaan untuk meminta maaf kepada orang lain. Kesediaan untuk meminta maaf berarti kita mengakui bahwa kita tidak sempurna dan kita bisa berbuat lebih baik. Ketika kita mengajari putra-putra kita untuk tidak meremehkan, merasionalisasi, atau menyangkal bahwa mereka telah melakukan kesalahan, kita mengajari mereka untuk mengutamakan hubungan di atas harga diri mereka. Anak laki-laki yang tumbuh dengan kesadaran bahwa “Aku minta maaf” dan “Aku memaafkanmu” adalah bagian dari kehidupan sehari-hari akan lebih mudah meminta maaf bila diperlukan. Mereka juga lebih cenderung memaafkan orang lain (dan diri mereka sendiri) ketika hal buruk terjadi.
“Ada kekuatan besar dalam kesediaan untuk meminta maaf kepada orang lain.”
4. Melayani Masyarakat yang Membutuhkan

Anak laki-laki perlu belajar pentingnya melayani mereka yang membutuhkan. Budaya kita cenderung membentuk orang-orang yang egois. Namun ada kekuatan dalam diri mereka yang bersedia melihat kebutuhan orang lain dan kemudian melakukan apa pun yang kita bisa untuk membantu mereka. Entah itu menyekop trotoar tetangga atau menyajikan makanan di dapur umum, ketika tindakan pelayanan menjadi bagian rutin dari kehidupan anak laki-laki, ia akan tumbuh dan melihat hal ini sebagai hal yang biasa dan diharapkan. Ia juga lebih cenderung mensyukuri apa yang dimilikinya.
Sumber : Mike Landry – https://www.allprodad.com/